Dewi Sartika Membangun Citra Perempuan Lewat Pendidikan – Kedudukan perempuan dalam sejarah terus mengalami perkembangan, namun sayangnya pada masa pemerintahan Hindia-Belanda, perempuan hanya dipandang sebelah mata. Hal ini berdampak pada kemunduran kedudukan perempuan dalam masyarakat Sunda, yang disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama adalah feodalisme pada masa era Mataram, di mana istri hanya dianggap sebagai lambang status seorang pria, sehingga perempuan yang awalnya subjek tergeser kedudukannya sehingga menjadi objek. Kedua, masuknya ajaran Islam yang disalahartikan oleh masyarakat konservatif di Jawa, yang memandang bahwa istri hanya berlaku sebagai pelayan rumah tangga bagi suami.
Sayangnya, stigma negatif terhadap perempuan terus berlanjut, sehingga menimbulkan tradisi yang merendahkan kaum perempuan. Namun, ada seorang tokoh perempuan bernama Dewi Sartika yang berjuang untuk mengembalikan citra perempuan melalui pemikirannya. Dewi Sartika melihat betapa pentingnya pendidikan ku-institute.id bagi perempuan agar dapat bebas dari stigma dan meraih kesetaraan. Bahkan ibunya sendiri disebelahkan oleh ayahnya, yang membuat Dewi Sartika semakin bersemangat untuk berjuang.
Sejarah telah membuktikan bahwa perempuan dapat memiliki peran penting dalam masyarakat dan Dewi Sartika menjadi contoh nyata perjuangan perempuan dalam mencapai kesetaraan gender. Oleh karena itu, kita perlu terus mengingat dan mengapresiasi peran perempuan dalam sejarah, serta memberikan pendidikan yang setara untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil dan merata bagi semua.
Dalam sejarah pendidikan Indonesia, kisah Dewi Sartika patut dijadikan inspirasi. Dengan pengalamannya, ia memperjuangkan hak pendidikan bagi perempuan. Meskipun ia dihadang oleh pemikiran konservatif pada masanya, Dewi Sartika tetap teguh pendirian. Ia berhasil mendirikan sekolah khusus perempuan yang menjadi tonggak penting dalam perkembangan pendidikan di Indonesia. Kita perlu menghargai jasa-jasa Dewi Sartika dan terus memperjuangkan hak pendidikan bagi seluruh masyarakat Indonesia tanpa terkecuali.
Dewi Sartika berhasil mendirikan sekolah khusus untuk kaum perempuan pada tahun 1904, yang diresmikan oleh afdeeling Bandung, R.A.A Martanegara. Meskipun pada masa itu masyarakat belum memperhatikan pentingnya pendidikan perempuan, Dewi Sartika tetap bertekad untuk membuka sekolah khusus tersebut. Namun, pelaksanaannya dihadapi dengan tantangan karena masyarakat sekitar masih menentangnya. Oleh karena itu, Dewi Sartika menjadikan pendopo bupati sebagai tempat untuk menyelenggarakan sekolahnya dengan nama Sakola Kautamaan Istri.
Menurut Lina Zakiah dalam skripsinya yang berjudul Konsep Pendidikan Perempuan Menurut Raden Dewi Sartika, publikasi tahun 2011, Dewi Sartika sangat gigih dalam mengusung cita-cita luhurnya untuk mendidik kaum perempuan agar keluar dari belenggu stigma negatif yang melingkupinya. Hal ini membuat para perempuan di Bandung tertarik dengan sekolahnya. Kurikulum yang diterapkan mengacu pada Tweede Klasse School, rintisan menteri pendidikan Hindia-Belanda, dengan beberapa elemen tambahan yang menjadi identitas dari sekolah khusus perempuan dari kalangan bumiputera. Dewi Sartika tidak hanya menjadi kepala sekolah, tetapi juga turut menjadi guru dan seluruh aspek sekolah dilaksanakan oleh kaum perempuan.
Dengan kesungguhan Dewi Sartika dan timnya, Sakola Kautamaan Istri berhasil mendobrak stigma bahwa perempuan tidak mampu bersaing dengan kaum lelaki dalam hal pendidikan. Sekolah tersebut berhasil memberikan pendidikan yang selevel dengan sekolah dasar, yang pada saat itu merupakan hal yang sangat penting untuk masa depan perempuan. Oleh karena itu, peran Dewi Sartika dalam sejarah pendidikan perempuan di Indonesia tidak bisa dipandang sebelah mata.
“Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam sejarah perkembangan perempuan di Indonesia. Salah satunya adalah Sekolah Kaoetamaan Isteri (Sakola Istri) yang didirikan oleh Dewi Sartika pada tahun 1912. Kurikulum di sekolah ini melingkupi pendidikan kognitif, termasuk bahasa Belanda, dan keterampilan seperti membatik yang diajarkan oleh Mbok Suro, seorang guru Jawa. Selain itu, siswa juga belajar keterampilan rumah tangga seperti memasak, menjahit, dan mengatur rumah.
Dewi Sartika menekankan bahwa pendidikan perempuan bukan hanya soal emansipasi, tetapi juga melatih keterampilan hidup sehari-hari sebagaimana kodratnya seorang perempuan. Pelajaran tata krama juga dianggap penting sebagai salah satu identitas perempuan yang perlu dijunjung. Hal ini membedakan karakteristik perempuan Bandung dengan Eropa.
Baca juga: Kepedulian yang Mendorong Lahirnya Pendidikan Anak Usia Dini Fröbel
Pendidikan perempuan menjadi dasar yang penting di kemudian hari, sebagaimana perempuan sebagai guru kehidupan, kala membesarkan dan mendidik anak-anaknya kelak. Berkat jasa dan gagasannya, Dewi Sartika dianugerahi gelar Orde van Oranje-Nassau oleh pemerintah Hindia-Belanda pada ulang tahun ke-35 Sekolah Kaoetamaan Isteri (Sakola Istri). Kemudian, pada tanggal 1 Desember 1966, ia juga mendapat gelar penghargaan sebagai pahlawan nasional dari Presiden Ir. Soekarno.
Sejarah pendidikan perempuan di Indonesia tidak akan lengkap tanpa mengenang peran dan kontribusi Dewi Sartika. Sekolah Kaoetamaan Isteri (Sakola Istri) yang didirikannya telah memberikan kesempatan bagi perempuan untuk belajar dan mengembangkan keterampilan hidup sehingga mereka dapat menjadi sosok yang kuat dan mandiri di masa depan.”