Masih Menjadi Bagian Kelam Isu Kekerasan di Perguruan Tinggi – Isu kekerasan di kampus masih menjadi masalah yang serius dalam dunia pendidikan. Baru-baru ini, salah satu anggota resimen mahasiswa di Universitas Sebelas Maret Surakarta menjadi korban dari tindakan kekerasan di dalam kampus. Namun, bukan hanya masalah di perguruan tinggi saja, tetapi juga bullying dan kekerasan di tempat lain yang masih menjadi tugas penting bagi pendidikan nasional ku-institute.id untuk diatasi. Tewasnya mahasiswa UNS menambah catatan kelam dalam dunia pendidikan, yang masih menjadi sisi gelap yang belum teratasi.

Agus Fakhruddin, seorang dosen di Universitas Pendidikan Indonesia, mengembangkan bahan ajar yang berjudul OSPEK Undercover (Sebuah Analisis Kritis Akan Suatu Penyimpangan) yang membahas isu kekerasan di kampus. Kisah-kisah tragis yang terjadi di perguruan tinggi menjadi bagian dari kelamnya dunia pendidikan. Sebagai suatu bentuk tanggung jawab sosial, semua pihak harus bekerja sama untuk mencegah dan mengatasi kekerasan di kampus. Dengan cara seperti itu, pendidikan nasional dapat menjadi tempat yang aman dan mendukung bagi para mahasiswa untuk belajar dan berkembang secara optimal.

Hingga tahun 2003, masalah kekerasan di STPDN masih terus berlangsung. Menurut laporan, Madya Praja Wahyu Hidayat dari Kontingen Jawa Barat meninggal dunia di tengah perjalanan ke rumah sakit karena diduga mengalami penganiayaan. Ada pula kasus penggunaan narkoba oleh Madya Praja Irfan Hibo yang disebabkan oleh rasa depresi dan frustrasi akibat perundungan yang dialaminya. Ia akhirnya ditemukan tewas karena overdosis obat-obatan terlarang. Banyak kasus kekerasan yang terjadi selama kegiatan OSPEK, yang seharusnya menjadi momen untuk memperkenalkan kampus kepada mahasiswa baru.

Masalah kekerasan di dunia kampus juga dibahas oleh Heharero Tesar Ashidiq dalam publikasinya yang berjudul “Kekerasan di Organisasi Intra Kampus, Paradoks Pendidikan Kritis Studi Kasus: Kekerasan Pada Mahasiswa Pecinta Alam (WAPEALA) Universitas Diponegoro” yang diterbitkan pada tahun 2019. Sebagai lembaga pendidikan, STPDN perlu memperhatikan aspek sosial yang meliputi lingkungan kampus yang aman dan kondusif bagi para mahasiswa. Pembinaan dan pengawasan yang tepat terhadap kegiatan OSPEK serta organisasi intra kampus juga penting dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan di kampus. Sebagai institusi pendidikan, STPDN harus memberikan contoh dan menjunjung tinggi nilai-nilai sosial yang diharapkan oleh masyarakat.

“Dalam kegiatan Wapeala, pendidikan fisik dan mental yang kuat selalu menjadi fokus utama,” demikian dikatakan. Namun, seringkali terjadi miskonsepsi yang berujung pada tindakan kekerasan yang tidak dapat diterima dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan sosial dalam kegiatan Wapeala perlu diperkuat agar anggotanya memahami bahwa kekerasan tidaklah menjadi solusi yang tepat dalam mencapai tujuan latihan yang diinginkan. Sebagai organisasi yang profesional, pendekatan yang lebih humanis dan etis perlu diterapkan dalam setiap latihan Wapeala. Dengan begitu, anggota dapat memahami bahwa latihan fisik dan mental dapat dicapai dengan cara yang aman dan tepat, tanpa harus melakukan tindakan kekerasan yang dapat berujung fatal.

Dalam pemikiran filosofis Hannah Arendt, kekerasan yang sudah menjadi budaya umum disebut sebagai banalitas kekerasan. Hal ini diungkapkan oleh Ashidiq bahwa kekerasan sudah tidak lagi dianggap sebagai hal yang tabu atau menyimpang. Namun, latihan yang keras dapat memicu dampak negatif, bahkan berujung pada kematian, meskipun tidak banyak diliput publik. Sebagai solusi, pendidikan dan ilmu pengetahuan diharapkan dapat menciptakan manusia yang beradab dan humanis. Hal ini disampaikan oleh Mangunhardjana dalam kutipan Haryanto, bahwa pendidikan mengajarkan cara hidup yang beradab dan humanis untuk membentuk masyarakat yang lebih baik. Oleh karena itu, peran pendidikan dan sosial sangat penting dalam menciptakan manusia yang beradab dan menghindarkan budaya kekerasan yang semakin merajalela di masyarakat.

Baca juga: Dewi Sartika Membangun Citra Perempuan Lewat Pendidikan

“Pendidikan yang berfokus pada aspek sosial dapat membawa manusia menuju tujuan untuk memanusiakan diri sendiri,” kata Haryanto Al-Fandi dalam bukunya berjudul Desain Pembelajaran Yang Demokratis & Humanis yang diterbitkan pada tahun 2011. Pendidikan yang humanis dan bermoral menjadi solusi terbaik untuk diimplementasikan dalam kehidupan para mahasiswa di dunia kampus. “Dengan mempertimbangkan aspek sosial dalam pendidikan, akan tercipta kesadaran perikemanusiaan yang mendorong pergaulan hidup yang lebih baik,” jelasnya. “Selain itu, pendidikan yang berfokus pada aspek moral akan membentuk karakter seseorang untuk berperilaku kebajikan.” Dengan demikian, kesadaran diri akan tumbuh dan budaya kekerasan dapat dihilangkan secara bertahap. Pendekatan profesional dalam pendidikan sangat penting untuk mencapai tujuan yang diinginkan.