Koran Kuno: Peran Tuan Tanah Cina dalam Pendidikan di Tangerang – “Silakan ikuti saya,” kata Westi. Kami berjalan menuju ruangan yang luas dengan rak-rak yang menyimpan koleksi surat kabar zaman Hindia Belanda. Westi, seorang petugas di Perpustakaan Nasional sedang mencari bundel Bintang Timor edisi 1874 untuk saya. Dengan bantuan sebuah bangku, ia berhasil menemukan beberapa bundel koran dalam bongkahan kantong-kantong plastik bening di atap rak. Koran kuno yang saya maksud berhasil ditemukan. “Sepertinya koran ini belum dibuat mikrofilm,” ujarnya.
Saya membuka repihan Bintang Timor edisi 13 Mei 1874 dengan hati-hati dan menemukan sebuah cerita tentang Tan Tjeng Po, seorang asisten residen dan tuan tanah yang mendirikan sebuah sekolah di Batu Ceper untuk bocah-bocah desa. Pada peresmian sekolah tersebut, terlihat harapan Tjeng Po bahwa anak-anak desa dapat memperoleh pendidikan ku-institute.id yang layak seperti anak-anak di kota. Koran itu juga mengabarkan bahwa jarang sekali orang Cina memiliki kemauan yang mulia seperti Tjeng Po.
Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1875, seorang filantropi dan letnan tituler Souw Siauw Tjong juga mendirikan sekolah serupa di Mauk. Sang tuan tanah ini dikenal kerap berderma, memberi makan orang miskin, dan memiliki tanah yang terbentang di beberapa wilayah. Orang terkaya di Batavia pada masa itu mewariskan rumah berlanggam Cina di Glodok, Jakarta Kota, yang hingga kini masih bisa disaksikan.
Kisah ini menjadi bagian dari sejarah pendidikan di Indonesia, di mana beberapa individu yang kaya dan berpengaruh memperjuangkan hak pendidikan bagi anak-anak dari kalangan bawah. Kita harus selalu mengenang dan menghargai perjuangan mereka dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia.
Sejarah mencatat bahwa pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, hamparan pertanian dan perkebunan Tangerang dikuasai oleh para tuan tanah dan opsir Cina. Namun, koran Bintang Timor melaporkan kesadaran sosial budaya yang mewakili orang-orang Cina bahwa ada tuan tanah yang tidak hanya bekerja untuk menumpuk harta belaka. Pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19 telah mendirikan sekolah-sekolah untuk bumi putra, namun kurangnya dana pendidikan pemerintah mendorong orang-orang Cina untuk mendirikan sekolah partikelir. Sampai akhir abad ke-19, Jawa dan Madura memiliki lebih dari 200 sekolah serupa yang mengasuh sekitar 4.400 murid.
Baca juga: Tiga Ajaran Penting Pendidikan Indonesia dari Ki Hajar Dewantara
Koran Bintang Timor, berbahasa Melayu pasar, pertama kali terbit pada tahun 1862 di Surabaya dan awalnya dibaca oleh kalangan pebisnis di Jawa Timur. Namun, berkembang ke seluruh Jawa, bahkan Sumatra dan Makassar. Koran ini berganti pemilik dari Gebroeders Gimberg & Co. ke pemilik baru, Tjoa Tjoan Lok, dan namanya pun berubah menjadi Bintang Soerabaja pada pertengahan 1887.
Dalam upaya melestarikan sejarah, Westi membantu merapikan koleksi naskah yang merepih. Meskipun ia tidak tega melihat keadaan koleksi yang rusak, ia mengungkapkan bahwa mesin pemindai naskah yang baru dimiliki kantornya belum bisa dioperasikan karena takut merusak naskah. Pendidikan dan pengetahuan sejarah memainkan peran penting dalam menjaga warisan budaya kita. Sebagai pembaca terakhir koran ini, mari kita menghargai dan merawat sejarah yang ada.